Akhir-akhir ini TOA menjadi perbincangan khalayak, benda tersebut kembali menjadi obrolan hangat di masyarakat lantaran Kementerian Agama mengeluarkan aturan pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Keluarnya aturan tersebut sontak menuai polemik di masyarakat. Ada yang menolak, namun tak sedikit pula yang mendukung. Pro kontra tersebut nyaris mirip dengan kejadian tahun 1970-an, kala megafon asal Jepang merk TOA mulai marak digunakan sebagai pengeras suara adzan di masjid-masjid perkotaan hingga pedesaan.
TOA atau megafon adalah sebuah alat elektronik yang berfungsi untuk mengeraskan suara. Orang Sumenep mahfuz dengan istilah lospeker, ada juga yang menyebutnya rong-corong karena bentuknya yang memang mirip corong alat tuang barang cair. Jika kita lirik kebelakang, rong-corong sebenarnya mulai dikenal di Indonesia menjelang akhir Pemerintahan Kolonial. Kira-kira sekitar tahun 1938an, Saat Philips sebuah perusahaan elektronik asal Eindhoven, Belanda mengembangkan dan memproduksi megafon elektrik yang sederhana, lalu mengenalkannya ke seluruh wilayah jajahan termasuk di kawasan Hindia.
Dilansir dari beberapa koran yang beredar kala itu, seperti De Indische Courant dan Bataviaasch nieuwsblad, megafon tersebut rupa-rupanya merupakan megafon pertama yang menggabungkan mikrofon dan loudspeaker menjadi satu kesatuan dengan bantuan amplifier portaphane. Kehadiran megafon praktis inilah yang dikemudian hari memicu beberapa masjid besar memanfaatkan alat tersebut seiring dengan masuknya saluran listrik di wilayah perkotaan.
Kees Van Dijk dalam tulisannya yang berjudul “perubahan kontur masjid” dalam buku Arsitektur masa lalu dan masa kini di Indonesia, mengatakan bahwa Masjid Agung Surakarta-lah yang pertama kali memanfaatkan teknologi tersebut untuk mengumandangkan adzan.
Dikutip dari laman Historia.id, penggunaan pengeras suara juga mulai marak digunakan saat perusahaan TOA membuka pasar di Indonesia pada tahun 1960an. Saat itulah megafon asal Jepang tersebut menyebar hingga ke pelosok desa dan kota, mengalahkan merek-merek lain yang sudah muncul sejak akhir pemerintahan Kolonial. Saking populernya alat tersebut, orang-orang kemudian lumrah menyebutnya TOA.
Saat awal kepopulerannya, alat tersebut lebih banyak digunakan untuk kepentingan rumah ibadah. Tak hanya berfungsi untuk menyebarluaskan kumandang adzan, sesekali TOA juga dimanfaatkan menyebarluaskan berita acara pekumpulan, berita duka, membangunkan warga untuk sholat tahajud, dsb.
Yang menarik adalah penggunaan TOA di Masjid Jamik Sumenep. Dulunya TOA di masjid tersebut juga dimanfaatkan untuk merelai suara lonceng jam yang berbunyi setiap seperempat jam sekali. Suara lonceng tersebut bisa terdengar kurang lebih hingga radius 2 km, terutama saat malam atau dini hari.
Seiring waktu, alat pengeras ini juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama di pedesaan untuk memutar musik-musik acara hajatan dan pesta. Fenomena tersebut wajar karena soundsystem belum sepenuhnya populer seperti saat ini.
MUNCULNYA PENGERAS SUARA PERTAMA DI SUMENEP
Tak banyak sumber catatan atau lisan yang menginformasikan masjid mana saja di Sumenep yang memakai bantuan alat pengeras suara untuk pertama kalinya. Namun bisa saja yang menggunakan alat tersebut adalah masjid-masjid utama dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat kala itu, salah satunya Masjid Jami’ Sumenep.
Terkait dengan waktunya, bisa saja alat tersebut mulai digunakan pasca kemerdekaan atau bersamaan saat populernya penggunaan pengeras suara merek TOA pada tahun 1960-1980an. Agak mustahil jika alat tersebut telah digunakan sejak jaman Kolonial, karena perusahaan listrik ANIEM baru membuka layanannya di Sumenep pada akhir tahun 1938 atau tiga tahun sebelum pemerintahan meliter Jepang menduduki pulau Jawa dan Madura.