Cerita Dibalik Evakuasi Tawanan Perang di Madura

FN Fikri

Potret Udara Penjara Pamekasan Tahun 1947 - KITLV

Proklamasi kemerdekaan Indonesia  bulan agustus 1945 mendapat tanggapan hangat dari masyarakat, khususnya dari kalangan para pemuda. Namun kekosongan kursi pemerintahan di masa awal-awal kemerdekaan dan mendaratnya NICA di Jawa membuat sebagian pemuda tersebut merasa resah bahkan sebagian menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah republik.

Para pemuda di berbagai daerah kemudian secara proaktif menggaungkan revolusi sendiri dengan cara masing-masing. Mereka ada yang berusaha melucuti senjata-senjata milik serdadu jepang secara beringas, melawan kelompok feodal, bahkan mendorong masyarakat berlaku kriminal dengan cara menjarah barang milik orang-orang yang kontra terhadap kemerdekaan Indonesia.

Kodisi yang tak kondusif itu kemudian mendorong munculnya konfrontasi antar kelompok di masyarakat. Teror kepada kalangan Indo dan Belanda yang baru saja dibebaskan oleh serdadu Jepang semakin meningkat dari waktu ke waktu.  Tak terkecuali, pengusiran dan penjarahan kepada kelompok Tionghoa dan bangsawan juga mulai muncul dimana-mana.

Atas situasi itu, untuk menjaga reputasi pemerintah Republik Indonesia di dunia Internasional,  Tentara Republik Indonesia (TRI) di beberapa daerah akhirnya mengambil inisiatif mengamankan berbagai kelompok yang rawan menjadi sasaran.

Di Pulau Madura, orang-orang Indo dan Belanda tetap ditahan dalam kamp interniran sampai ada perintah lebih lanjut dari pemerintah pusat.

H.S.Stelter, seorang mantan tawanan Jepang yang sempat dibebaskan dari kamp tahanan cimahi terpaksa diamankan kembali di penjara Pamekasan, saat dia berusaha mengungsikan anak dan istrinya ke Madura.

Baca Juga : Jejak Peninggalan Penjajahan Jepang : Kamp Interniran di Madura

Setelah hampir tiga bulan diterungku,  awal januari 1946 para tawanan itu kemudian dipindah ke Stasiun Pertanian yang ada di desa Landen.

Disana, mereka dengan leluasa beraktivitas dan mendapatkan makanan yang cukup. Seminggu kemudian, para wanita dan anak-anak akhirnya dikembalikan ke rumah masing-masing dengan penjagaan ketat tentara Republik.

Dua bulan sebelum peringatan satu tahun kemerdekaan RI, para pria Indo Belanda yang masih bertahan di pengungsian itu kemudian diberi tawaran oleh Tentara Republik. Mereka diberi beberapa  pilihan, antara lain ; menjadi warga negara Indonesia, dimasukkan kedalam kelompok orang asing, atau dipindah ke tempat yang sudah ditentukan oleh pemerintah Indonesia.

Surat kabar popular Het Dagblad menyebutkan, dari tiga puluh orang yang ditawari untuk memilih, hanya lima belas orang orang yang bersedia dievakuasi. Beberapa hari kemudian, mereka dibawa ke pelabuhan Sampang. Dari sana pula, dengan menggunakan kapal pukat kayu milik serdadu Jepang mereka dikirim ke pulau Jawa.

Di atas selat Madura, secara tak sengaja kapal Evertsen milik Angkatan Laut Belanda melintas. Rombongan itu dihentikan ditengah lautan. Serdadu Belanda beberapa saat kemudian menggeledah seluruh awak kapal. Tak lama Tentara Republik Indonesia bersama-sama awak kapal Jepang menyerahkan para interniran tersebut secara damai.

Baca Juga:

Bagikan:

Tags

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.