Serunya permainan tradisional “tan-pangantanan” asli Sumenep

FN Fikri

Arak-arakan pengantin wanita di jalan raya Kalianget Sumenep sekitar tahun-1914 (National Museum van Wereld Rotterdam)
Arak-arakan pengantin wanita di jalan raya Kalianget Sumenep sekitar tahun-1914 (National Museum van Wereld Rotterdam)

Bulan haji merupakan bulan yang spesial bagi orang-orang Madura, bukan lantaran karena banyak orang yang berkurban, namun juga diyakini sebagai bulan yang baik untuk mengelar pesta pernikahan. Pada bulan-bulan ini, gedung, halaman rumah, lapangan, sudut-sudut jalanan baik yang ada di kota ataupun desa umumnya padat dengan aktivitas hajatan

Senyum sumringah akan nampak terlihat dari wajah si tuan rumah dan juga para undangan. Tua dan muda bahkan anak-anak turut larut dalam acara yang lumrah disebut jang-onjangan. Tak heran jika momen berkesan itu kemudian meng-ilhami anak-anak desa di Sumenep untuk bermain tan-pangantanan. Mereka bermain dikala siang  hari ataupun dikala terdapat waktu luang.

Permainan tersebut dimainkan secara berkelompok di halaman terbuka. Saat bermain, anak-anak yang tergabung akan membagi kelompoknya kedalam beberapa bagian. Mereka berbagi peran, diantaranya ada yang menjadi pangantan, pangereng, dan juga reng towa.

Saat bermain, anak-anak tersebut akan menghias si pangantan dengan berbagai bunga hidup layaknya pengantin pada umumnya. Jika musim berbunga, maka bunga-bunga yang ada di halaman akan dijadikan penghiasnya. Melati dan Mawar umumnya mereka pakai sebagai hiasan. Tak lupa bedak kuning atau putih kadang pula mereka riaskan kewajah masing-masing anak yang berperan sebagai pangantan.

Cara bermainaya cukup sederhana, sepasang pengantin akan ditaruh dibarisan paling depan, lalu berjalan berkeliling halaman diikuti oleh pengiringnya sembari melantunkan lirik dhe’ nondhe’ ni’ nang.

Dhe’ nondhe’ ne’ nang, Nanganang-nganang nong dhe’ , mon ta’ nondhe’ jaga jaggur.

La sayumla, aeto lilla ya amrasul kalimas topa’ . Ahaina’ ahaidheng , dhangkong. Pangantanna Din ba’ aju Din tamenggung. Alola’ lole’ lorkong. Abali pole nengkong.

Koddhu’ pace , pacenan. Langsep dhuko lon-alon. Pangantan kaimma pangantan,  pangantan loji pamaso’a ka Karaton.

Bu’ saeng lema’ , bu’ saeng lema’. Aeng tase’ bang-kambangan. Embu’ panarema, embu’ panarema. Balanjana sa’are korang.

Lirik diatas diyakini sebagai lirik utama dalam bermain tan-pangantanan sebagaimana yang diungkap oleh RP. Abd Sukur Notoasmoro dalam buku Aneka ragam kesenian Sumenep (2004), “Sebenarnya hanya ada tiga lirik utama pada pada lagu tersebut, antara lain : Dhe’nondhe’, La-sayomla, dan Koddhu’ Pace“, tambahnya.

Seiring dengan perkembangan budaya di masyarakat, lirik diatas ternyata ada berbagai penambahan-penambahan pada bagian akhirnya. Penambahan lirik Daddali bidaddarkung seperti dibawah, hadir sebagai respon terhadap perubahan zaman di masyarakat.

Daddali bidaddalkung. Nase’ obi kowa lorkong. Ban-gibanna le’ kata’ buttong. Pangerengga pate’ koper.

 Jam tujuh jam delapan. Anak serdadu mekol senapan, door .

Jam beranak itiklah ayam. Penganten baru sudah berjalan.

Tette’ jam bindara. Pangantan kaimma pangantan. Pangantan loji Din Ba’aju Din Tamenggung.

Sayangnya kini, permainan anak-anak tersebut sudah berangsur pudar, tertutup oleh perubahan budaya bermain anak-anak, yang cenderung lebih suka berinteraksi dengan gawai.

Baca Juga:

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.