Meskipun tak semenarik dan sekaya pulau Jawa, Pulau Madura tetap mendapatkan tempat di hati para pelancong dan pejabat kolonial. Sejak abad ke 17, tak sedikit orang-orang Eropa berlalu-lalang mengunjungi pulau ini, baik untuk kepentingan perdagangan, pemerintahan dan lain-lain. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Albertus Jacobus Duymaer van Twist, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang berkuasa dari tahun1851 hingga 1856.
Di awal masa jabatannya, ia bersama sang istri sempat menujungi pulau ini. Kisah perjalannya ia rekam dalam sebuah buku berjudul “Reis Naar en Over Java”. Didalamnya ia menceritakan banyak hal terkait kondisi dan suasana dari tempat yang mereka singgahi.
Perjalanannya mengeliling Pulau Madura ia mulai dari Sumenep. Ia menyebrang melintasi selat Madura melalui perairan Banyuwangi. Dalam catatanya, Kapal yang ia tumpangi sempat terkendala saat akan berlabuh di pantai Sumenep karena kondisi perairannya yang sangat dangkal. Sehingga, kapten kapal memutuskan untuk membuang sauh di tengah laut sembari beristirahat menunggu pagi.
Keesokan harinya, sebuah kapal sekunar milik Sultan Sumenep datang memberikan bantuan. Dengan segera mereka berpindah kapal, dan tak lama kemudian kapal yang mereka tumpangi berlabuh di perairan Kalianget. Dari sana para rombongan melanjutkan perjalanannya menuju Kraton Sumenep, menaiki kereta kuda yang juga telah dipersiapkan sebelumnya.
Selama di Sumenep seluruh akomodasinya ditanggung oleh Sultan. Ia diberikan tempat tinggal sementara yang terletak didalam komplek Kraton. Di sini dia juga diberi kesempatan berkeliling melihat suasana Kraton dari dekat. Dalam catatanya, Ia juga mengungkapkan jika Kraton Sumenep sebenarnya tak jauh beda dengan Kraton di Solo dan Jogja, hanya saja skala ukurannya lebih kecil.
Sejauh yang ia amati, Kraton Sumenep terdiri dari lorong-lorong, pendapa, ruang terbuka, galeri, kamar dan juga ruangan-ruangan lain. Ia juga memberikan gambaran sekilas suasana kehidupan di dalamnya. Menurut laporan yang ia terima dari asisten residen, ada sekitar lima puluh wanita yang tinggal di dalam komplek tersebut, sedangkan para putra laki-laki bertempat tinggal terpisah diluar tembok Kraton.
Setelah menghabiskan banyak waktu di Sumenep, ia besama sang istri melanjutkan perjalananya ke Pamekasan. Berbeda dengan di Sumenep, kini ia tinggal di sebuah rumah bergaya Eropa tak jauh dari bekas Kraton Pamekasan. Disinilah ia menghabiskan waktu malamnya untuk beristirahat. Tak banyak informasi yang disampaikan terkait wilayah ini, hanya saja ia menyampaikan bahwa Raja Pamekasan yang juga cucu Sultan Sumenep tidak lagi berkuasa lantaran sudah diberhentikan oleh pemerintah.
Keesokan harinya ia bergegas pergi meninggalkan Pamekasan. Cuaca terik dan berdebu menemani seluruh perjalanannya menuju ke daerah yang terletak di barat pulau. Di kota Bangkalan ia bermalam di Kraton milik Panembahan, sebelum akhirnya bertolak ke Surabaya pada tanggal 3 September 1852.