Kebijakan Bank Indonesia yang meluncurkan uang kertas baru sehari pasca perayaan kemerdekaan RI, sekilas mengingatkan kita tentang perjuangan pahlawan bangsa di masa revolusi. Kala itu para pejabat negara dibuat geram menghadapi sikap negara-negara barat yang berniat menghancurkan sistem tatanan ekonomi di negara yang baru saja merdeka.
Aksi heroik itu bermula pada pertengahan September 1945, Saat rombongan pasukan sekutu datang kembali ke Indonesia. Mereka bermaksud mengambil alih kekuasaan dari tangan meliter Jepang yang baru saja kalah perang.
Namun siapa sangka, kedatangannya mengundang malapetaka. Ribuan pasukan yang datang rupanya diam-diam juga membawa aparatur pemerintahan sipil dan meliter Hindia Belanda yang sempat mengungsi di Australia.
Hal lain yang kemudian membuat masyarakat murka adalah aksi mereka yang berhasil menyelundupkan ratusan peti berisi uang gulden di Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta. Uang tersebut rencananya akan disebar keseluruh wilayah Indonesia, menggantikan semua jenis mata uang yang sempat beredar selama pemerintahan Jepang.
Kabar buruk itu, tak lama kemudian terdengar ke telinga para pejabat negara. Sutan Sjahrir yang baru saja ditunjuk sebagai perdana menteri melayangkan protes kepada komandan angkatan bersenjata Inggris, Sir Montagu Stopford.
Dalam suratnya, ia menganggap semua tindakan yang dilakukan oleh pasukannya merupakan bentuk agresi serius dan dapat mengancam kedaulatan sebuah negara. Ia juga mengatakan, bahwa Montagu telah gagal melaksanakan tugasnya sesuai kesepakatan sebelumnya.
Atas kejadian tersebut, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat, bahwa mata uang NICA yang baru saja disebarkan oleh pasukan sekutu tidak berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Maklumat lain yang berisi informasi tentang jenis mata uang yang sah dan berlaku sementara diterbitkan beberapa hari kemudian.
Desakan yang kuat dari berbagai kalangan agar segera menerbitkan mata uang sendiri, akhirnya membuat pemerintah membentuk panitia persiapan pembuatan Oeang Repoeblik Indonesia. Aos Surjatna dan Sahlan Efendi Osman kemudian ditunjuk sebagai pelaksana dengan dibantu oleh beberapa rekannya yang pernah bekerja di percetakan N.V.G. Kolff & Co Batavia.
Dalam prosesnya, para pekerja dihadapkan dengan banyak kejadian yang tak terduga. Mereka harus rela berpindah-pindah tempat lantaran material dan alat percetakan sangat terbatas. Selain itu faktor keamanan menjadi perhatian yang cukup serius. Oeang Repoeblik Indonesia yang baru saja diselesaikan di percetakan Surabaya misalnya hilang tak bersisa akibat dasyatnya perang 10 November 1945.
TERBITNYA ORI
Oeang Repoeblik Indonesia atau ORI baru bisa diedarkan secara leluasa setahun kemudian setelah pemerintah resmi membuka Bank Negara Indonesia (BNI) dan mengesahkan undang-undang No 17 tahun 1946 tentang Pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia.
Melalui siaran Radio Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1946, Wakil Presiden, Moh Hatta secara resmi mengumumkan bahwa uang Jepang dan De Javasche Bank tidak berlaku lagi. Hanya Oeang Repoeblik Indonesialah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah yang diakui oleh negara.
Meskipun sudah diluncurkan, karena beberapa faktor, terutama adanya agresi dari pihak Belanda, ORI hanya bisa beredar di wilayah Jawa dan Madura sebagaimana surat keputusan Menteri Keuangan Safroedin Prawiranegara.