Jalan Hidup Halim Perdana Kusuma, Pahlawan Negara dari Bumi Madura

FN Fikri

Halim Perdana Kusuma
Marsda TNI Anumerta Abdul Halim Perdana Kusuma

Sudah tak asing ditelinga kita, terutama warga Jakarta tentang nama bandara yang satu ini, Bandara Halim Perdana Kusuma. Bandara yang terletak di Ibu Kota Negara ini merupakan bandara khusus pangkalan meliter TNI Angkata Udara. Nama bandara ini diambil dari nama seorang tokoh asal Madura yang banyak berjasa dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Abdul Halim Perdana Kusuma, lahir di Sampang, 18 November 1922. Ia merupakan putra dari Raden Ayu Aisyah dan Raden Wongsotaruno. Dalam berbagai literatur disebutkan, leluhurnya masih bertalian darah dengan keluarga Kraton Sumenep. Tak mengherankan jika sebelum merantau ke negeri seberang, ia  banyak menghabiskan masa kecilnya di kampung halaman ayahnya pasca pensiun sebagai wedana Sampang.

Selama di Sumenep ia tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah kediaman tua yang kini masuk wilayah kelurahan Kepanjin, Kecamatan Kota. Kediaman keluarga besar Halim ini dulunya dikenal dengan kawasan Roma Panggung yang diyakini sudah berdiri sejak abad ke-17. Kini komplek tersebut sudah beralih fungsi sebagai sarana sosial dan pendidikan. Bahkan rumah yang pernah ditinggalinya, telah menjadi panti asuhan “Tat Twam Asih” yang dikelola oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur.

AWAL MENITI KARIR

Tak banyak kisah yang bisa diceritakan selama masa kecilnya itu. Namun layaknya anak-anak dari kalangan keluarga priyayi, ia diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi dari masyarakat lainnya. Halim muda sempat mengenyam berbagai jenjang pendidikan mulai dari HIS di Semarang, MULO di Surabaya hingga terakhir sebagai mahasiswa MOSVIA di Magelang.

Belum sempat menyelesaikan studinya sebagai calon pangreh praja di MOSVIA, perang dunia mulai pecah di Eropa. Akibatnya beberapa wilayah jatuh ke tangan Jerman, termasuk Belanda. Seakan tak ingin mengalami nasib serupa, Pemerintah Hindia – Belanda kemudian mengeluarkan sebuah peraturan wajib meliter. Halim yang saat itu menempuh pendidikan tak luput dari kebijakan darurat tersebut.

Bersama dengan kawan-kawan sebayanya, ia kemudian dikirim dan dilatih sebagai opsir torpedo di Angkatan Laut Surabaya. Selama perang dunia II berkecamuk ia tak luput dari berbagai penugasan sebagai perwira perang. Puncaknya ia ditunjuk sebagai pilot di skuadron pesawat tempur Lancaster dan Liberator dengan pangkat Wing Commander.

Karirnya di dunia aviasi tak bisa dilepaskan dari pertemuannya dengan Panglima Komando Asia Tenggara Laksamana Mountbatten di India. Dari tanah pengungsiannya itu, ia ditugaskan untuk menjaga pertanahan di seluruh kawasan bekas Negara koloni. Untuk menghilangkan rasa bosannya karena perang, Halim juga sesekali menyalurkan bakatnya dalam melukis.

Bagai dapat durian runtuh, karya lukisannya yang menggambarkan wajah sang komandan mendapat sambutan hangat. Sepupu Ratu Elizabeth II itu kemudian tertarik untuk menyekolahkan Halim ke Royal Canadian Air Force (RCAF). Ditempat barunya ia dilatih menjadi navigasi pesawat tempur. Sebagai navigator pesawat ia lebih sering terlibat dalam aksi pemboman di wilayah yang diduduki tentara fasis Jerman.  

KEMBALI KEPANGKUAN IBU PERTIWI

Pasca berakhirnya perang Asia – Pasifik, meliter – meliter Jepang segera bergegas meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Indonesia. Sebaliknya, pasukan sekutu yang saat itu mengungsi sementara ke Australia dan India, secara bertahap mulai memasuki wilayah Indonesia yang telah merdeka.

Tanggal 15 Oktober 1945, tentara sekutu dilaporkan telah mendarat di Tanjung Priok, Jakarta. Diantara banyaknya orang berkulit putih yang datang, Halim turut serta dalam rombongan tersebut. Panasnya situasi keamanan, Halim yang belum lama menginjakkan kakinya di tanah ibu pertiwi itu kemudian ditangkap oleh orang – orang Republik karena dicurigai sebagai bagian dari NICA. Ia kemudian dijebloskan dalam sel tahanan di Kediri.

10 November 1945, peristiwa besar meletus. Para pejuang kemerdekaan RI menggempur Pasukan Inggris yang ingin menguasai Surabaya. Karena situasi semakin tidak kondusif, Menteri Pertahanan kala itu, Amir Syarifuddin kemudian membebaskan Halim dari penjara. Ia dikembalikan kekeluarganya di Sumenep.

Sementara itu R. Soerjadi Soerjadarma, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh dibuat sibuk dengan  membangun kekuatan udara.  Saat R. Soerjadi Soerjadarma mendengar Halim telah dibebaskan, ia kemudian mengontak dan  mengajak Halim agar turut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tanpa banyak pertimbangan, Halim akhirnya menerima tawaran tersebut.

Karena keahlian dan pengalamannya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi Udara. Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara diatas langit Indonesia.  Tugasnya kala itu meliputi banyak bidang, diantaranya menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara di daerah lawan, operasi penerjunan pasukan dan pembinaan di sekolah penerbangan.

Untuk memudahkan membangun kekuatan udara diluar Jawa, ia juga merintis kekuatan udara di wilayah Sumatera. Dalam persiapannya itu, ia bersama Iswahjudi lalu lalang menyiapkan segala persenjataan yang dibeli dari luar negeri, termasuk pesawat Avro Anson RI-003 yang telah membawa dirinya terbang ke nirwana.

Baca Juga :

Aksi dua bersaudara membela tanah air Indonesia

 

Baca Juga:

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.