Aksi dua bersaudara membela tanah air Indonesia

Sumenep Tempo Dulu

2 Bersaudara. Halim Perdana Kusuma (kiri) dan Abdul Halim Pratalykrama (kanan) - Grafis oleh fnstedu

Ialah R. Abdul Halim Perdanakusuma dan R. Abdul Rahim Pratalykrama, dua orang bersaudara yang pada masanya berjuang merintis kemerdekaan Indonesia. Putra dari Raden Wongsotaruno ini sebelum kemerdekaan, masing – masing bekerja di lingkungan pemerintah kolonial mengikuti jejak sang ayah. Meskipun begitu, pada saat revolusi Indonesia keduanya memantapkan hati untuk mendukung dan bergabung dalam perjuangan kemerdekaan.

Raden Abdul Rahim Pratalykrama, lahir pada tahun 1898. Lulusan besturrschool itu meniti karirnya dari bawah. Oleh pemerintah Kolonial untuk pertama kalinya ia diangkat sebagai Asisten Wedana di Pasongsongan, kemudian wedana di Sapudi hingga pada akhirnya menjabat Patih di Lumajang. Pada suatu waktu, saat Jepang menguasai Hindia-Belanda, ia kemudian dipindah tugaskan ke Karesidenan Kediri.

1 Maret 1945, Pemerintahan militer Jepang yang diwakili komando AD Ke-16 dan Ke-25 menyetujui pembentukan Badan Penyelidikan Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan yang tugasnya untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia yang  merdeka.

Badan ini  beranggotakan 67 orang, terdiri dari: 60 orang anggota aktif dari tokoh utama pergerakan nasional Indonesia mewakili semua daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang.

Dari 60 orang anggota aktif tersebut salah satu diantaranya adalah R. Abdul Rahim Pratalykrama. Dalam sidang pertama ia terlibat dalam pembentukan dan pembahasan dasar-dasar negara. Salah satu usulan yang ia utarakan dan sempat menjadi perdebatan adalah prasyarat pencalonan Presiden yang kemudian salah satu usulannya diakomodir di dalam Pasal 6 ayat (1) sebelum perubahan UUD 1945 yang isinya sebagai berikut, “Presiden ialah orang Indonesia asli.”

Tak hanya aktif dalam bidang pemerintahan saja, salah satu hal yang paling diingat banyak orang adalah kesigapannya dalam mengkoordinir para tokoh pro kemerdekaan dan mengadakan diplomasi dengan perwakilan pemerintah Jepang pasca dikumandangkan proklamasi oleh Soekarno di Jakarta.

Lain hal dengan kakaknya, Halim Perdanakusuma lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia kemeliteran pasca lulus dari sekolah menengah pamong praja (MOSVIA) di Magelang. Bergabungnya Halim dengan Pasukan laut Belanda di Surabaya lantas mengantarkan nasibnya melanglang antar benua dan terlibat perang dunia kedua. Saat pemerintah Jepang datang ke Indonesia, ia masih tergabung dalam aparatur kolonial yang mengharuskannya hijrah ke Australia bersama ribuan orang – orang Belanda lainnya. Di nergeri Kanguru tersebut ia tidak lama, bersama armada laut Belanda lainnya kemudian mereka dikapalkan ke India. Di tanah koloni Inggris inilah Halim muda bergabung dengan meliter Inggris. Atas kemurahan hati Laksamana Mountbatten saat melihat hasil lukisan Halim yang menggambarkan dirinya ia kemudian disekolahkan ke Royal Canadian Air Force (RCAF). Ditempat barunya ia mendapatkan pelatihan navigasi pesawat tempur. Sebagai navigator pesawat ia lebih sering terlibat dalam aksi pemboman di wilayah yang diduduki tentara fasis Jerman.

Saat perang dunia ke II usai, ia dikembalikan ke unit meliter Belanda, Marine Luchtvaart Dienst. Saat Revolusi Indonesia meletus, Marine Luchtvaart Dienst turut mengirimkan Halim ke Indonesia. Disaat inilah kemudian ketika ia kembali ke tanah kelahirannya memantapkan dirinya bergabung dengan pejuang Indonesia lainnya. Saat pertama kalinya ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat bagian udara.

Ditempat barunya ini, dan karena pengalamannya, ia ditunjuk menjadi perwira operasi. Merencanakan sekaligus memberikan arahan kepada personel awak pesawat lainnya dalam melakukan serangan ke pihak musuh. Ia terlibat dalam serangan operasi udara di Salatiga dan Semarang yang mengakibatkan kerusakan pada musuh.

Selain itu menjelang akhir tahun 1948, sebelum kematiannya.  Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penjajakan pesawat AVRO ANSON dan senjata untuk kebutuhan pertahanan RI ke luar negeri. Sayang nahas menimpanya, pesawat yang ia kemudikan dengan Iswahjoedi jatuh di perairan Sabah Malaysia, ia tewas dalam usia muda untuk membela negara.

 

Baca Juga:

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.