Hampir Cetak Rekor MURI, Sumenep Pernah Menjadi Kota Seribu Becak

Sumenep Tempo Dulu

Infografis Aturan Becak di Sumenep - Grafis by STEDU2021

Siapa yang tak tau moda transportasi beroda tiga ini. Namanya begitu popular di kalangan masyarakat perkotaan hingga pedesaan. Becak dalam perjalanannya, pernah menjadi kendaaran paling banyak diminati yang pada akhirnya perlahan banyak yang menginginkannya mati.

Becak masuk ke Indonesia sejak masa Kolonial. Dari yang hanya fungsinya sebatas alat untuk mengangkut barang dagangan, berkembang menjadi angkutan orang. Keberadaannya pun direspon baik oleh pemerintah kolonial saat itu. Di era kolonial jumlahnya masih sangat terbatas, hanya dapat ditemukan di kota-kota tertentu.

Tahun 1942, menjadi momentum sekaligus saksi bagaimana moda angkutan beroda tiga ini sangat  diterima di masyarakat. Kebijakan meliter Jepang dalam mengatur dan membatasi moda angkutan bermesin telah memberikan ruang tersendiri kepada tukang becak untuk eksis. Di masa itu becak tak lagi diminati oleh kalangan masyarakat bawah namun juga kalangan masyarakat menenengah atas.

Pasca kemerdekaan becak semakin naik pamor hingga menjadi semacam musuh bersama dan harus dikendalikan dari kota-kota besar karena jumlahnya yang terus meningkat tajam. Jumlahnya yang ribuan bahkan ratusan ribu itu  perlahan dianggap mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya. Disatu sisi pembangunan besar-besaran yang dilakukan pemerintah menganggap moda transportasi ini sudah sangat usang dan tak layak menghiasi wajah-wajah kota yang mulai bersolek karena pembangunan.

Sejak itulah muncul pandangan negatif terhadap becak. Yang mula diminati, akhirnya dicoba untuk dibatasi. Aturan undang-undang dan penertibannya mulai digalakkan.  Mula-mula berlansung di Ibu kota sekitar tahun 1970an dan kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya, termasuk di Sumenep.

Penertiban Becak di Sumenep sendiri berlangsung dari tahun 2007 hingga 2008. Mengutip pernyataan Kepala Bidang Perhubungan Darat Dinas Perhubungan di laman  sumenepkab.go.id saat itu, jumlah becak di Sumenep diperkirakan sudah mencapai 4000 armada, dan yang mengurus ijin hanya setengahnya. Untuk mengantisipasi segala permasalahan dikemudian hari, pemerintah melakukan beragam cara dan kebijakan, mulai dari sosialisasi mengurus perijinan hingga membagi jam operasionalnya menjadi dua sif. Becak yang beroperasi pada siang hari wajib dicat kuning dan untuk becak yang beroperasi pada malam hari dicat putih.

Potret lalu lalang becak di Sumenep sebelum tahun 1990
Potret lalu lalang becak di Sumenep sebelum tahun 1990 -Pic.Basabasi.co/SongennepCommunity

Kebijakan pembagian operasional yang disodorkan juga sempat menimbulkan pro  dan kontra di kalangan pengemudi becak. Meskipun pada akhirnya tetap berjalan sesuai rencana, namun nampaknya  kebijakan tersebut berjalan tak maksimal. Beberapa tahun kemudian peraturan yang tertuang dalam perda tersebut tak lagi dijalankan sepenuhnya. Banyak becak yang berlalu lalang di dalam kota tak lagi mengikuti jam operasionalnya. Selain karena sejak awal banyak ditentang karena dianggap tidak solutif, kini secara perlahan jumlahnya turun sangat drastis.

Becak di Sumenep kini masih eksis, namun tiap tahun jumlahnya turun drastis, apa sebabnya? Tak lain karena perkembangan kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Disamping itu, generasi muda pun, baik yang tinggal dikota atau di desa sudah tak lagi menggantungkan kehidupan ekonomi sehari-harinya dari moda transportasi ini.

Baca Juga:

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.