Selama berabad-abad lamanya, tanaman dengan nama ilmiah Oryza sativa atau padi, telah menjadi sumber makanan pokok masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Di Nusantara, tanaman yang memiliki berbulir-bulir kecil itu diperkirakan telah menjadi tanaman utama sejak abad ke-8, sebagaimana yang tersemat dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Candi Gunung Wukir, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti tersebut berisi informasi bahwa sejak dulu kala, pulau Jawa merupakan wilayah penghasil emas dan padi.
Hingga memasuki awal masa kolonialisme, terutama pada masa pemerintahan Sultan Agung, beras atau biji padi yang telah terkelupas kulitnya menjadi komoditas yang paling perhitungkan keberadaanya. Raja Mataram itu sempat melarang penduduknya menjual beras kepada VOC, meskipun beberapa puluh tahun setelahnya, komoditas tersebut dapat dikuasai.
Penguasan VOC terhadap kebutuhan pokok itu terus berlangsung hingga awal abad ke-20. Pemerintah Hindia Belanda melalui departemen pertaniannya mulai menggalakkan berbagai penelitian ilmiah dan membentuk layanan penyuluhan (voorlichtingsdienst). Lembaga tersebut didirikan di berbagai daerah termasuk di Sumenep yang mulai dirintis sejak tahun 1930an.
USAHA PEMERINTAH MELITER JEPANG MEROVOLUSI DUNIA PERTANIAN
Sekalipun Pemerintah Hindia – Belanda telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kualitas pertanian terutama padi, namun pemerintahan meliter Jepang, merasa bahwa produktivitas tanaman tersebut kurang maksimal terutama saat kondisi perang.
Atas dasar itu, Pemerintahan Dai Nippon kemudian mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan sebutan Kinkyu Shokuryu Taisaku, yakni sebuah program yang fokus dalam penyediaan kebutuhan bahan pokok.
Aiko Kusarawa dalam buku Kuasa Jepang di Jawa menuliskan, bahwa ada tiga kegiatan yang difokuskan untuk mendukung program tersebut, diantaranya, pengenalan jenis padi baru, inovasi teknik pertanian serta propaganda dan latihan bagi para petani.
Ketiga kegiatan itu, meski pada awalnya mendapat penolakan, namun seiiring berjalannya waktu, banyak petani kemudian secara terpaksa menerima kebijakan-kebijakan tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut tata cara tanam.
Pemerintah Meliter Jepang menganggap bahwa teknik tanam secara acak yang dilakukan oleh petani secara turun-temurun dianggap menjadi penyebab rendahnya produktivitas dari tanaman padi. Oleh karenanya, sebuah teknik baru mulai diperkenalkan setelah para insinyur dari Jepang melakukan serangkaian penelitian.
Para peneliti dari negeri sakura itu merekomendasikan para petani untuk menanam padinya dengan cara memberi jarak antar bibit. Agar jaraknya tetap sama, para petani diperitahkan untuk memberikan tali atau simpul dalam jarak yang telah ditentukan. Dengan demikian, para petani dapat dengan mudah menanam bibit padinya dengan jarak yang konsisten. Teknik baru ini diyakini bisa meningkatkan hasil pertanian dari biasanya.
Selain memerintahkan para petani menanam padi dengan memberikan jarak antar bibit, para petani dilarang keras mempraktikkan teknik tumpang sari dalam lahan mereka. Praktik tersebut dianggap dapat merusak bibit-bibit yang ditanam apalagi jika jenis tanamannya mempunyai sifat yang berbeda.
Dalam menjalankan kebijakan yang kaku tersebut, pemerintah kemudian membentuk Shidoin atau penyuluh pertanian. Profesi tersebut dibentuk mulai dari tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Mereka bertugas mengajari para petani bercocok tanam sesuai dengan cara-cara Jepang, membuat kompos dan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian.