Mengungkap Rasa Jubada, Panganan Legendaris yang Nyaris Tinggal Kenangan

FN Fikri

Jubada Panganan Khas Sumenep, Arsip STEDU 2022
Jubada Panganan Khas Sumenep, Arsip STEDU 2022

Lebaran memang sudah berlalu, namun beberapa rasa kue yang disuguhkan kadang masih terasa menancap di lidah. Rasanya yang manis dan tampilannya yang unik, membuat siapa saja terngiang-ngiang, bahkan ingin mencicipinya kembali. Ialah jubada, jajanan ringan khas Sumenep yang kini asing di telinga dan lidah para remaja.

Dilansir dari saluran YouTube mamira.id  produsen jajanan ringan itu kini hanya tersisa delapan orang. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang tinggal di Dusun Blejut, Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan. Dari desa kecil itulah para ibu kini berusaha sekuat tenaga melestarikan jajanan legendaris itu ditengah gempuran jajanan kekinian.

Jubada, sebenarnya sudah dikenal sejak sebelum berdirinya Negara Indonesia. Jajanan ringan itu muncul tak lepas dari banyaknya penduduk di timur pulau Madura khususnya di daerah Prenduan, Aengpanas, Ganding dan Talang  yang membudidayakan Pohon Siwalan. Mereka mengolah pohon jenis palma tersebut kedalam berbagai bentuk produk, seperti perlengkapan kebutuhan rumah tangga, perlengkapan pertanian bahkan pangan.

Tak mengherankan jika pada tahun 1925, sekelompok pemuda yang tergabung dalam organisasi Sarikat Madura, berusaha untuk mengenalkan produk olahan tersebut kepada khalayak luar. Dilansir dari surat kabar De Indische Courant (17/9), organisasi besutan R. Mayangkusumo dan R. Ruslan Wongsokusumo itu, membawa beberapa sampel gula siwalan, gula nyiur dan jubada pada acara pameran yang dihelat oleh Indonesische Studi Club di Surabaya.

Dalam acara tersebut, olahan jubada mendapat perhatian khusus dari para peserta yang sebagian besar adalah kaum terpelajar pribumi. Pasalnya panganan ringan itu dapat bertahan berhari-hari tanpa berubah rasa. Pada kesempatan tersebut, sang pewarta juga menyampaikan, bahwa kala itu orang-orang Madura sering kali menyuguhkan jubada kepada para tamunya, bahkan juga kadang kala menjadikannya sebagai pengganti makanan pokok kala tak memiliki beras untuk ditanak.

William Frederick Donath ketua komite pangan Hindia Belanda dalam laporan penelitiannya yang dipublikasikan pada tahun 1935 mengungkapkan, jika olahan sejenis dodol itu dibuat dari campuran gula siwalan dengan tepung singkong. Bahan-bahan alam tersebut diracik sedemikian rupa diatas tungku api hingga mengental. Adonan tersebut kemudian dituang diatas nampan datar, lalu diangin-anginkan.

Setelah adonan mengering, jubada kemudian dikemas kedalam bentuk potongan kecil seukuran permen. Yang unik lintingan jubada kecil diikat dalam jumlah tertentu dengan tali yang juga berasal dari pohon yang sama. Talinya terbuat dari potongan janur siwalan.

Kini panganan khas tersebut hanya dapat ditemukan di Pasar Kapedi, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep.

Baca Juga:

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Maaf anda tidak bisa menyalin konten ini. Silahkan share saja.